PROBLEMATIKA
KEPEMIMPINAN DIINDONESIA
Berbagai krisis yang mendera silih
berganti, menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan hidup bangsa
Indonesia. Krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga
krisis agama. Persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan,
kekerasan hingga penyalahgunaan kekuasaan, seakan-akan tidak mau beranjak dalam
kehidupan bangsa ini. Wajar apabila dalam berbagai hasil survey, Indonesia
selalu saja menempati posisi terendah dalam hal kemajuan, dan posisi puncak
dalam hal kemunduran.
Dalam bidang korupsi misalnya, pada
tahun 2007 Indonesia menempati urutan ke-3 negara paling korup setelah Myanmar
dan Kamboja, begitu juga halnya dengan kemiskinan dan kebodohan. Sebaliknya
dalam bidang kemajuan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan,
Indonesia berada di nomor belakang.
Selain itu krisis lainnya yang
paling nyata dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis kepemimpinan. Kita
mengalami kegamangan dalam hal menentukan pemimpin yang tepat untuk negeri ini.
Tentu saja pemimpin yang mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis
multidimensi ini. Beberapa kali pemilu dan pilpres telah digelar, namun selalu
saja muncul perdebatan dalam menentukan pemimpin yang layak, sehingga perebutan
posisi presiden dan wakil presiden kerap menjadi suguhan politik yang paling
menyedot perhatian publik
Akibat sibuknya para elit
membicarakan persoalan kursi dan kekuasaan, maka persoalan-persoalan pokok yang
dihadapi bangsa ini menjadi terlupakan. Upaya untuk mencari jalan keluar dari
krisis dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, menjadi terabaikan dan hanya
merupakan cita-cita semu. Padahal negeri ini sudah memenuhi syarat untuk
disebut negara makmur bila dilihat dari potensi kekayaan sumber daya alam yang
tersedia.
Alih-alih dikelola dengan baik dan
mampu menyejahterakan rakyatnya, malah menjadi akar dan penyebab munculnya
segala macam persoalan sosial, budaya dan ekonomi. Ketimpangan antara kelompok
kaya dan kelompok miskin, semakin melebar. Kekayaan yang melimpah ruah ini
malah di obral dengan begitu murah kepada segelintir orang atau golongan saja.
Kekuasaan pasca reformasi memang
semakin terbuka untuk diperebutkan. Ketika zaman orde baru, berbicara masalah
suksesi merupakan sesuatu yang amat tabu dan menakutkan, namun sekarang orang
boleh berharap untuk menjadi presiden atau wakil presiden, sepanjang memiliki
dukungan politik dan finansial yang kuat, bahkan dengan pemilihan langsung
rakyat memiliki daulat penuh untuk menentukan pemimpinnya.
Namun, setelah reformasi itu
berjalan beberapa tahun, kepemimpinan yang ideal itu amat sulit diwujudkan.
Kepemimpinan bangsa ini hanya dimanfaatkan oleh elit-elit tertentu sebatas
untuk tercapainya kepentingan diri dan kelompoknya. Koalisi-koalisi dibangun
hanya sekedar untuk bagi-bagi kekuasaan saja. Padahal, bila menyadari bahwa
kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, mungkin setiap
orang akan berhati-hati untuk memikulnya.
Kepemimpinan berbeda dengan seorang
pemimpin karena hal itu merupakan sebuah sistem. Karena itu, aspek kerja sama,
kolektivitas, dan keterpaduan merupakan sebuah keharusan dalam sebuah
kepemimpinan. Kegagalan dalam kepemimpinan sering terjadi karena menganggap
kepemimpinan sebagai sebuah kerja individual.
Padahal, di zaman modern, tidak ada
satu karya atau produk muncul karena karya individual. Sebuah produk umumnya
merupakan sebuah karya kolektif. Kita misalnya bisa melihat sebuah industri
pesawat terbang, mesinnya dibuat di Inggris, sistem navigasinya dibuat di
Jerman, sayapnya dibuat di Indonesia, dan lain-lain.
Meski bagian-bagian pesawat itu
dibuat di berbagai negara, namun semuanya sudah diatur dengan tepat, sehingga
begitu bagian-bagian pesawat tersebut selesai diproduksi, pabrik induk tinggal
memasangnya
.Bagian-bagian pesawat itu dibuat
dengan ketentuan-ketentuan yang ketat dan terukur sehingga ketika
diintegrasikan semuanya pas dan tepat. Analog tersebut penting dikemukakan
karena kita sering melihat kepemimpinan di Indonesia acap kali tidak berjalan
sinkron dan harmonis dengan realitas yang dipimpinnya.
Silang pendapat antara para pemimpin
dalam mencari solusi terhadap sebuah problem sering terjadi karena tidak adanya
sistem kepemimpinan. Di era modern seperti ini, kepemimpinan individual sudah
tidak sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia.
Kasus banjir di Jakarta, misalnya
bisa menjadi contoh betapa permasalahan banjir tersebut tidak mungkin bisa
diselesaikan hanya pemerintah DKI, dalam hal ini Gubernur.
Masalah banjir Jakarta menggambarkan
bahwa permasalahan lokal ternyata tidak bisa diselesaikan secara lokal. Tapi
perlu diselesaikan dengan mengajak pihak-pihak lain yang terkait. Baik secara
lokal, nasional, regional, maupun global untuk bekerjasama menyelesaikan
permasalahan secara integratif dengan melihat problemnya secara whole system,
keseluruhan.
Dengan pendekatan lokalitas dalam
globalitas inilah, kita harus melihat konsep kebangsaan.
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia yang tidak bisa dipisahkan. Kemajuan IT di dunia telah menghilangkan jarak antara satu titik lokasi dengan titik lokasi lainnya di muka planet bumi, bahkan dengan titik lokasi di jagat raya.
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia yang tidak bisa dipisahkan. Kemajuan IT di dunia telah menghilangkan jarak antara satu titik lokasi dengan titik lokasi lainnya di muka planet bumi, bahkan dengan titik lokasi di jagat raya.
Tanpa melihat keterkaitan global dan
universal itu, setiap solusi permasalahan di dalam negeri tidak bisa tuntas
diselesaikan. Dengan perspektif itulah wawasan kebangsaan perlu dibangun. Saat
ini bangsa Indonesia sudah bisa merasakan betapa besar, kaya dan luasnya
negeri, ternyata tidak memberikan solusi mengatasi problem masyarakat.
Ketika pergerakan uang dan modal
tidak dibatasi sekat-sekat antarnegara, maka kekayaan dan luasnya sebuah negara
tidak lagi menjadi modal kompetitif untuk pembangunan sebuah bangsa. Kini,
modal kompetitif tersebut adalah kualitas sumber daya manusia. Dengan tolok
ukur inilah, kita mengukur sejauh mana kepemimpinan itu mempunyai wawasan kebangsaan.
Indonesia sendiri adalah negara
besar yang nyaris lengkap. Penduduk besar, kekayaan alam besar dan secara
geopolitik dan geostrategis juga menguntungkan dalam kancah kompetisi
internasional. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan tersebut belum termanfaatkan
dengan baik.
Bahkan sebaliknya, menjebak
Indonesia ke dalam situasi yang menimbulkan krisis. Salah satu penyebab krisis
yang paling utama adalah korupsi. Korupsi di sini dalam pengertian luas, bukan
hanya korupsi dalam keuangan negara, tapi juga kedisiplinan, waktu, sumpah
setia, tekad dan lainnya.
Akar dari masalah multikorupsi
tersebut sebetulnya adalah retaknya moral. Bangsa Indonesia terkikis moralnya
karena ada ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini ketidakadilan meruak di mana-mana. Mulai dari sistem distribusi
kekayaan, penggajian di instansi swasta, lembaga eksekutif dan legislatif,
hingga pemanfaatan kekayaan. Ketidakadilan itulah yang menimbulkan problem
besar.
Kepemimpinan masa depan di era yang
penuh transparansi karena adanya kemajuan tekhnologi informasi yang luar biasa
ini, menuntut adanya sistem yang menjamin terselenggaranya keadilan. Di dalam
negeri, kepemimpinan model seperti itu harus dibangun melalui pendekatan
intelektual dan moral, yang disertai dengan kemampuan menguasai berbagai
keterampilan yang diisyaratkan oleh kepemimpinan global.
Dalam konteks inilah, sharing
leadership harus diutamakan ketimbang individual leadership. Seorang
pemimpin yang berhasil di masa depan akan bergerak secara terintegrasi dalam
rangka membangun manusia, memberdayakan manusia, mendorong dialeg di
masyarakat, memacu kreativitas rakyat, mampu mengantisipasi perubahan
sosial-budaya, mampu melakukan negosiasi yang efektif dan konstruktif untuk
kepentingan bangsa.
Meminjam filsafat Tao, kepemimpinan
harus bersifat luwes tapi kuat seperti air. Manusia tidak akan dapat membendung
dinamika perubahan dunia. Maka yang harus dilakukan kepemimpinan yang
berwawasan dalam menghadapi krisis multidimensi dan tantangan global di abad 21
ini adalah berjalan sesuai dinamika global, sambil mencari strategi untuk
memanfaatkan dinamika global itu untuk kepentingan nasional.
Lebih dari satu dekade reformasi telah digulirkan, namun hingga saat ini
sejumlah masalah masih menimpa bangsa Indonesia. Di bidang politik, hukum, dan
keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Di sektor kesejahteraan rakyat,
sejumlah luka bangsa masih belum hilang: angka kemiskinan yang tinggi, biaya
kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta anak-anak busung lapar yang belum
hilang dari angka statistik. Di bidang ekonomi dan industri, kita tidak
berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Ada banyak faktor yang menjadi
penyebab semuanya, salah satunya adalah kegagalan para elit kita memimpin
bangsa ini. Tiadanya pemimpin yang berani mengambil alih masalah orang lain
menjadi tanggung jawab dirinya dan berperan sebagai problem solver bagi masalah
lingkungannya, telah menyeret bangsa ini pada persoalan-persoalan yang tak
berujung. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyatnya, akhir masa jabatannya
tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam
kesendirian. Begitu juga Soeharto, bapak pembangunan ini pun tersungkur di masa
akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi.
Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah
mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Karena itu, bangsa Indonesia memerlukan
pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin yang lahir dari
generasi baru, bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan
juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu,
melainkan seorang tokoh yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan,
memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi, serta sabar dalam berjuang.
Pemimpin yang mampu memberikan visi, arah, dan tujuan, membangun kepercayaan,
memberikan harapan dan optimisme, serta memiliki keberanian melihat dirinya
sebagai katalis. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya,
toleransi terhadap risiko, disiplin seorang entrepreneur, dan bukan pemimpin
bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Menuju Pemilu 2014: Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan” pada hari Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan. Pembicara pertama yaitu Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk Pemimpin, yaitu:
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Menuju Pemilu 2014: Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan” pada hari Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan. Pembicara pertama yaitu Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk Pemimpin, yaitu:
- Parpol masih buruk yaitu belum punya sistem dan cara untuk menghasilkan pemimpin yang baik. Tidak punya indikator performa.
- Parpol belum punya gagasan reform untuk dirinya maupun bangsa, contohnya bisa dilihat pada ketiadaan pendidikan politik yang baik dalam badan parpol. Kader belajar sendiri di lapangan, tidak dibekali pendidikan, pengetahuan, dan skill berpolitik
- Parpol kuat diwarnai hubungan-hubungan personal berbasis kedekatan pertemanan dan kekeluargaan.
- Anggota parpol tidak loyal, loncat dari satu parpol ke parpol lain, bukti tidak ada ideologi dan indikator performa
- Parlemen dalam proses kerjanya juga tidak punya gagasan reform yang mendasar dan tidak punya indikator performa antara lain kerapkali bekerja berdasarkan suka atau tidak suka, dan hubungan kedekatan personal.
- Parlemen bekerja tidak berdasarkan meritokrasi yaitu memberikan penghargaan berdasarkan pencapaian merit (proven ability) seseorang yaitu bagaimana orang yang berkompeten.
- Parlemen cenderung mengarah kepada kleptokrasi, yaitu upaya-upaya memperkaya diri dari uang publik.
Selain itu, Eva juga membahas tentang Bagaimana Peran Perempuan Dalam
Politik dan Kesempatan Menjadi Pemimpin yaitu:
- Perempuan di parlemen, masih kecil perannya (dampaknya hampir tdk ada)
- Secara umum kesempatan perempuan Indonesia untuk menjadi pemimpin bangsa masih tertutup
- Perempuan dimana kalau tidak punya hubungan pertemanan, kekeluargaan, klan maka kecil kesempatannya untuk berpolitik dan menjadi pemimpin
- Sistem pemilu tidak adil pada perempuan antara lain dari kesempatan awal sampai pada proses menjadi bagian dari sistem politik.
Ada beberapa rekomendasi menurut anggota DPR RI ini, yaitu:
- Sistem pemilu: no money politics, adil gender, berdasarkan kemampuan, bukan suara terbanyak tapi nomor urut berdasarkan kemampuan.
- Parpol Reform: Kaderisasi parpol yang sistematis dan terukur.
- (Pendidikan politik yang baik dan adil gender untuk masyarakat luas).
- Mengupayakan sistem merit yang solid dalam parlemen dan parpol (penghargaan berdasarkan kompetensi) yaitu performance indikator yang jelas.
Pembicara selanjutnya yaitu Budiarto Shambazy, ia membahas tentang “Situasi dan Prospek Politik Dewasa Ini”. Menurutnya politik nasional memasuki masa krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak Oktober 2010 pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh WikiLeaks, praktis sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab utama kelumpuhan pemerintah adalah sosok Presiden SBY yang tidak efektif lagi karena watak kepemimpinan yang lemah. Kevakuman kepemimpinan nasional tersebut juga gagal diisi oleh Wakil Presiden Boediono. Keraguan terhadap keabsahan hasil Pemilu-Pilpres 2009 juga tampak jelas pada proses penyidikan Skandal Century oleh DPR. Keputusan Rapat Paripurna DPR amat jelas: aparat hukum (dalam hal ini Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung) harus menyidik dan menyelidiki hubungan antara bail out Rp 6,9 trilyun Bank Century dengan dugaan politik uang yang dilakukan oleh partai dan capres-cawapres tertentu.
Wartawan senior Kompas ini menilai kemungkinan yang terjadi pada saat pilpres 2014, barangkali sangat bisa terjadi adalah proses konstitusional dan political bargains di kalangan elit yang memerintah, yang berpusat di masalah keabsahan Pemilu-Pilpres 2009, akhirnya akan berujung pada penyelenggaraan pemilu-pilpres ulang sebelum 2014. Pemilu-pilpres ulang bisa diselenggarakan secara murah, cepat, dan jurdil jika melibatkan bantuan/keterlibatan pihak-pihak asing seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, dan negara-negara sahabat. Kita menengarai terdapat puluhan juta pemilih yang dirampas haknya, padahal rakyatlah yang berhak menentukan pilihan masing-masing—bukan lewat cara-cara persekongkolan elit politik di dalam kompleks MPR-DPR, kudeta, atau Pemilu-Pilpres 2014 yang tak mustahil amburadul lagi pelaksanaannya seperti tahun 2009.
Pembicara ketiga Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi memberikan pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut pandang seorang pelaku ekonomi. Para pengusaha perlu mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam mengembangkan sektor usahanya agar dapat menarik investor dari luar maupun dalam negeri. Selama ini, Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengusaha dalam menjalankan perekonomian maupun sektor bisnis dalam pemerintahan. Menurut Sofjan, bila pemerintah bisa bekerjasama dengan pengusaha, maka baik sektor perekonomian dan bisnis dapat berjalan dengan baik dan lebih efisien.
Pembicara terakhir yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris dengan tema “Krisis Kepemimpinan Politik dan Tantangan 2014”. Menurutnya bangsa kita saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional, krisis kepemimpinan politik itu tidak hanya tampak pada kepemimpinan lembek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan juga terlihat dari kinerja kepemimpinan partai-partai politik hasil Pemilu 2009. Sedangkan di tingkat lokal, krisis kepemimpinan politik tampak dalam kinerja kepala-kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan, dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan penyalahgunaan dana APBD. Ia membahas tentang enam dimensi krisis kepemimpinan politik yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa kita dewasa ini, yaitu Krisis komitmen etis, Krisis keteladanan, Krisis kecerdasan dan kreatifitas, Krisis kapasitas manajerial, Krisis tanggung jawab, dan Krisis kewibawaan.
Selanjutnya, peneliti yang akrab disapa pak Haris ini, membahas bagaimana partai-partai politik adalah institusi paling bertanggung jawab dalam menghasilkan para pemimpin politik bangsa kita saat ini. Menurutnya, para politisi dan pemimpin parpol yang “bermasalah” tidak memiliki hak moral untuk menjadi calon pemimpin bangsa kita di masa depan. Realitas politik sejauh ini memperlihatkan, para politisi dan pemimpin parpol yang “bermasalah” lebih merupakan beban ketimbang solusi bagi bangsa kita. Terakhir ia membahas bagaimana adanya kerjasama dan konsolidasi sipil dari berbagai elemen kekuatan masyarakat sipil. Kerjasama dan konsolidasi itu tidak hanya diperlukan untuk mencari sumber kepemimpinan politik baru, melainkan juga guna mendorong dan mendesak parpol-parpol kita yang masih peduli agar benar-benar berpihak pada nasib rakyat kita dan masa depan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar